
Penurunan prestasi bulu tangkis Indonesia menjadi isu besar di kalangan Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI). Soalnya tak satu pun atlet Indonesia menjuarai tur dunia Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) level tinggi—Super 500, 750, dan 1000—sepanjang tahun ini, termasuk saat menjadi tuan rumah Indonesia Open pada awal Juni 2025.
Eng Hian, Kepala Bidang Pembinaan PBSI, mengatakan satu masalah utama adalah mandeknya komunikasi antara atlet dan pelatih. Seharusnya, dia melanjutkan, kedua sisi sejalan dalam menjalani rencana program pertandingan. “Masalah komunikasinya di situ,” katanya kepada Tempo, Jumat, 20 Juni 2025.
Penyebabnya, menurut dia, ada sejumlah pelatih yang minim jam terbang menangani atlet elite. “Ada pemain yang menganggap dirinya pemain top. Ini kan tidak boleh,” ujar Eng.
Menurut mantan pelatih ganda putri di pemusatan latihan nasional PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, ini, pelatih perlu membuat program pengiriman ke turnamen sesuai dengan kapasitas atlet. Maka, dalam enam bulan mendatang, PBSI akan mengutus atlet ke turnamen-turnamen sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka dibebani target juara. “Bukan sekadar mempertahankan peringkat,” tutur Eng.
Peraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004 itu mengatakan PBSI juga akan menggulirkan regenerasi tanpa menuntut pemain muda langsung mendapat gelar. Rendahnya ekspektasi bagi pemain muda, Eng menambahkan, demi menjaga kesehatan dan rentang karier atlet. Menurut dia, proses perkembangan atlet badminton bukan seperti ilmu pasti. “Banyak hal yang mempengaruhinya selama masa proses itu.”
Eng mengatakan akan ada evaluasi bagi atlet yang sudah lima tahun lebih di pelatnas. “Untuk mengambil langkah siapa yang akan promosi dan degradasi.”
Pengamat badminton, Fritz Simanjuntak, mendukung langkah PBSI. Menurut dia, federasi perlu mencari jalan dalam membangun komunikasi antara atlet dan pelatih. Ia menekankan pentingnya kemampuan pelatih mempengaruhi dan menguasai pemikiran pemain. “Jadi, pertarungan di lapangan itu pertarungan pikiran. Bukan hanya pertarungan teknis,” ucapnya.
Fritz juga menyarankan Bidang Pembinaan PBSI mencari cara agar pelatih bisa meningkatkan komunikasi kepada para atlet. Di antaranya, menurut Fritz, melibatkan psikolog. Dia yakin pakar psikologi bisa mengatasi masalah mental atlet, termasuk perasaan jemawa dengan menganggap dirinya pemain besar. “Analisis psikologis tersebut bisa menjadi bahan penyusunan program, disamping analisis teknis pemain.”
Soal pelatih yang kurang jam terbang sehingga dianggap remeh pemain, Fritz menilai hal itu sebagai kesalahan PBSI. “Banyak, kok, pelatih luar negeri yang jauh lebih mampu.”
Menurut Fritz, kedekatan antara pelatih dan atlet merupakan hal krusial. Sebab, badminton merupakan olahraga perorangan. Berbeda, misalnya, dengan sepak bola. “Maka, pelatih harus bisa masuk ke sisi psikologis pemain, bukan sekadar berkomunikasi secara lisan.”