
Prestasi bulu tangkis Indonesia menjadi sorotan karena hasil buruk dalam banyak turnamen dua tahun belakangan. Dalam tur dunia BWF terakhir, Indonesia Open 2025, pada 3-8 Juni 2025, tak satu pun wakil tuan rumah meraih gelar juara. Catatan terbaik ditorehkan pasangan ganda putra Sabar Karyaman Gutama/Muhammad Reza Pahlevi Isfahani sebagai runner-up setelah dikalahkan Kim Won-ho/Seo Seung-jae dari Korea Selatan.
Di Indonesia Open, Indonesia puasa gelar sejak 2022. Pada 2021, ganda putra Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo meraih gelar juara terakhir untuk Indonesia. Berikutnya, Indonesia seperti menyediakan panggung untuk tamu-tamunya dalam turnamen level Super 1000. Padahal, sejak bergulir pertama kali pada 1982, Indonesia mendominasi dengan mendulang 85 dari total 215 medali. Dari era Icuk Sugiarto pada 1980-an hingga Taufik Hidayat pada 2000-an.
Paceklik prestasi di Indonesia Open itu makin terasa mengingat sepanjang tahun ini Indonesia belum sekali pun meraih gelar juara dalam tur dunia BWF level tinggi—Super 500, 750, dan 1000. Merah-putih baru sekali berkibar di level Super 300, yaitu saat ganda campuran Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu menjuarai Taipei Open pada 10 Mei 2025.
Level super membedakan sistem kualifikasi pada tur dunia BWF—yang berlangsung dalam 31 turnamen di lebih dari 20 negara sepanjang tahun. Misalnya Super 1000 dan Super 750 hanya diikuti oleh 32 wakil terbaik di setiap kategori tanpa ada babak kualifikasi. Kemudian Super 500 dan Super 300 diikuti oleh 32 perwakilan dengan 28 tiket babak utama dan empat pertandingan kualifikasi di setiap kategori.
Level Super yang tertera dalam sebuah turnamen juga membedakan jumlah poin serta hadiah yang didapat. Super 1000, misalnya, akan memberikan 12 ribu poin sebagai juara. Super 750 masing-masing memberikan 11 ribu, 9.350, dan 7.700 poin. Pengumpulan poin ini mempengaruhi ranking dunia para atlet.
Pengamat bulu tangkis Fritz Simanjuntak mengatakan, secara teknik permainan, atlet Indonesia seharusnya mampu bersaing dengan negara lain. Sebab, semua keahlian tertinggi bermain badminton dimiliki Jonatan Christie dan kawan-kawan. Namun nyatanya Indonesia minim medali. “Memang menyedihkan. Prestasi buruk berjemaah namanya,” kata Fritz, Selasa, 10 Juni 2025.
Fritz mendasari argumennya pada keberhasilan Jonatan Christie dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto menjuarai All England 2024. Termasuk turnamen level Super 1000, All England merupakan turnamen bulu tangkis tertua (sejak 1899) dan dianggap paling bergengsi.
Menurut Fritz, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) juga telah memberikan fasilitas yang memadai bagi atlet, baik untuk latihan maupun mengikuti turnamen. “Maka kesalahan ada di tim pelatih dan tim pembinanya karena tidak mampu menyelesaikan masalah nonteknis para pemain,” ujarnya.
Taufik Hidayat, Wakil Ketua Umum PBSI, merasa heran dengan kinerja para atlet. Dia menyesalkan sikap diam para atlet saat dimintai masukan oleh PBSI saat persiapan Piala Sudirman, 27 April hingga 4 Mei 2025.
Peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 yang kini jadi Wakil Menteri Olahraga ini mempertanyakan keinginan para atlet untuk mendongkrak prestasi bulu tangkis Indonesia. “Apa sih yang kurang buat pemain? Fasilitas sama semua, sponsor ada. Saya bingung,” kata Taufik di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, 15 April 2025.
Menurut Fritz, kekurangan para atlet papan atas Indonesia adalah soal nonteknis. Pemain dianggap tak mampu mengatasi tekanan sehingga kehilangan kendali dan strategi saat bertanding. Kondisi ini, dia melanjutkan, sering terjadi saat game kedua dan ketiga setelah menguasai pertandingan sepanjang game pertama.
Kondisi ini, Fritz melanjutkan, merupakan masalah psikologis. Partai final tunggal putri Indonesia Open 2025, An Se-young dari Korea Selatan melawan Wang Zhi Yi dari Cina, bisa menjadi pelajaran berharga. An mampu membalikkan keadaan saat tertekan dalam game pertama. Sebab, dia pandai mengelola mental sepanjang pertandingan.
Soal nonteknis ini, menurut Fritz, yang kurang mendapat perhatian selama pelatihan. “Jadi, begitu sudah tertinggal, ya, lewat saja. Tidak bisa mengejar,” kata dia. “Tidak ada kemajuan dari bidang pembinaan untuk mengatasi itu.”
Dia menyarankan PBSI membahas permasalahan pembinaan dan kepelatihan secara internal. Hasilnya perlu mereka sampaikan secara terbuka.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI Eng Hian balik bertanya soal anggapan penurunan prestasi. “Apa atlet tidak boleh kalah,” tuturnya di Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, 15 Mei 2025.
Eng Hian juga mempertanyakan batasan level turnamen yang dianggap sebagai kategori berprestasi. “Level Challenge 100 sudah juara,” ujarnya. Empat wakil Indonesia meraih medali emas di Singapore International Challenge 2025 pada Februari lalu.
Menjawab soal inkonsistensi, Eng Hian menganggap kemenangan atau kekalahan merupakan bagian dari proses perkembangan seorang atlet. Misalnya atlet A dilatih sekian tahun dan berhasil mencapai target menjuarai turnamen level Super 1000. “Tapi saat kalah dalam turnamen lain, dia dianggap gagal,” kata Eng Hian.
Taufik Hidayat mengatakan PBSI tengah melaksanakan regenerasi atlet. Sebab, ada jarak antargenerasi sehingga poin pemain level bawah belum cukup untuk diikutkan dalam turnamen level atas. “Kami akan perbaiki semua. Ada kekurangan, kami mohon maaf. Kami sedang berproses semua,” ujar Taufik.
Pengamat bulu tangkis Daryadi melihat gejala kurang darah badminton sejak tahun lalu. Satu penyebabnya, dia melanjutkan, regenerasi yang tak berjalan di kepengurusan sebelumnya dan berimbas ke kepengurusan sekarang. PBSI menggelar musyawarah nasional di Surabaya pada 9-11 Agustus 2024 dengan hasil terpilihnya Fadil Imran sebagai ketua umum, menggantikan Agung Firman Sampurna.
Daryadi mencontohkan, di nomor tunggal putra, jarak usia antara Jonatan Christie, 27 tahun, dan juniornya, yakni Alwi Farhan (20) serta Muhammad Zaki Ubaidillah (17), terlalu jauh. “Sebenarnya kosong satu generasi dan bakal terlihat dampaknya pada tahun ini. Jadi, jangan kaget kalau mengalami masalah ini,” kata Daryadi.
Setali tiga uang di nomor tunggal putri. Selain Gregoria Mariska Tunjung dan Putri Kusuma Wardani, Daryadi melanjutkan, belum ada pemain lain yang memiliki poin cukup untuk berpartisipasi dalam turnamen level atas.
Kondisi berbeda muncul di nomor ganda putra, yang ada tujuh tim dalam satu generasi. Namun, dia melanjutkan, pelatih Herry I.P. terus mengandalkan pasangan Fajar Alfian/M. Rian Ardianto, masing-masing berusia 30 dan 29 tahun. “Mereka sudah bermain lama sekali, 10 tahun,” kata Daryadi. “Sehingga Sabar Karyaman Gutama/M. Reza Pahlevi Isfahani keluar dari Pelatnas sejak akhir 2021 karena tak kuat dengan persaingan di dalam.”